BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sindroma Guillain-Barre
(GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP),
poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio
Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain
Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan
biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam
kelompok penyakit neuropati perifer.
GBS tersebar diseluruh
dunia terutama di negara–negara berkembang dan merupakan penyebab tersering
dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa
meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki –
laki dari pada perempuan. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok
usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap golongan usia.
Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3 minggu
sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau
gastrointestinal.
Angka kejadian penyakit ini
berkisar 1,6 iga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin
bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% pesampai
1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan
infeksi saluran nafas atas. Tnderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang
perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita
gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya
kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan
koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas
berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.
B. TUJUAN
1.TUJUAN
UMUM
Tujuan
umum penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk mendukung kegiatan
belajar-mengajar jurusan keperawatan khususnya pada mata kuliah keperawatan
Neurobehavior II tentang asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi
system saraf pusat.
2.TUJUAN
KHUSUS
Tujuan
khusus penulis dalam menyusun makalah ini agar mahasiswa mengetahui bagaimana
asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi system saraf pusat:
Sindrom Guillain Bare, mengetahui penyebab, patofisiologi, tanda dan gejala,
komplikasi yang mungkin terjadi, serta penatalaksanaan dari klien yang
mengalami sindrom Guillain Bare.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
GBS
merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas,
suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang
sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik,
sensorik, dan otonom.
Guillain
Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic
Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf
yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf
tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit
ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf.
B. ETIOLOGI
Etiologi
SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan
masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
o
Infeksi
o
Vaksinasi
o
Pembedahan
o
Penyakit
sistematik :
§ Keganasan
§ Lupus
erythematosus
§ Tiroiditis
§ Penyakitü Addison
o
Kehamilan
atau dalam masa nifas
SGB
sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal
Salah
satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang
menyerang mielin saraf perifer.
Infeksi
akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi
|
Definite
|
Probable
|
Possible
|
Virus
|
CMVEBV
|
HIV Varicella-zosterVaccinia/smallpox
|
InfluenzaMeaslesMumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
|
Bakteri
|
Campylobacter
Jejeni Mycoplasma
Pneumonia
|
Typhoid
|
Borrelia
BParatyphoidBrucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
|
C. TANDA
DAN GEJALA
1
Kelumpuhan
Manifestasi
klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone.
Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara
serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan
otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia Biasanya
derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal,
tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian
proksimal.
2
Gangguan
sensibilitas
Parestesi
biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan
sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa
nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3
Saraf
Kranialis
Saraf
kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka
sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga
bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai
kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau
N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar
menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan
karena paralisis laringeus.
4
Gangguan
fungsi otonom
Gangguan
fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa
sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau
episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang
dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua
minggu.
5
Kegagalan pernafasan
Kegagalan
pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma
dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita
6
Papiledema
Kadang-kadang
dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena
peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi
arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
D. PATOFISIOLOGI
Tidak
ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang
sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan
organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung
myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat
sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel
sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme
tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan
makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan
limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin
dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson
adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh
suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik
yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat
insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan
meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot
dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin
tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,
yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang
rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,
sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin
lambat.
Pada
GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus.
Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu
bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10 Untungnya,
fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal,
serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh
saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis,
merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis
dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla
spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf
dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom
(involunter).
Pada
GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara
pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat
progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati
perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur ,
transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga
timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan
prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson
merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila
akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih
lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol
oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan
memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu
yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe
campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.
Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun,
saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
E. KOMPLIKASI
Ø Polinneuropatia
terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.
Ø Tetraparese oleh karena penyebab lain
Ø Hipokalemia.
Ø Kelumpuhan
otot pernafasan
Ø Dekubitus.
Ø Paralisis
otot persisten
Ø Gagal
nafas, dengan ventilasi mekanik
Ø Aspirasi
Ø Retensi
urin
Ø Masalah
psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
Ø Nefropati,
pada penderita anak
Ø Tromboemboli,
pneumonia, ulkus
Ø Aritmia
jantung
Ø Ileus
F.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dapat merawat
pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan pemeliharaan fungsi sistem tubuh.
Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan
komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan
keluarga.
1.
Dukungan
pernafasan dan kardiovaskuler
Jika
vaskulatur pernafasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik.
Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari
ventilator dalam beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai
kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi. Jika
sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam
tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi jantung akan terjadi
dan pasien harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung akan memungkinkan
disritmia teridentifikasi dan diobati dengan depat. Gangguan sistem saraf
otonom dapat dipicu oleh Valsava maneuver, batuk, suksioning, dan perubahan
posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat
hati-hati.
2.
Plasmaferesis
Plasmaferesis
dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk menyingkirkan
antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan secara
selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma
diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat
pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapati
keadaan pasien memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah
dalam 2 minggu.
3.
Penatalaksanaan
nyeri
Penatalaksanaan
nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan SGB. Nyeri otot
hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot. Unit stimulasi
listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu nyeri
merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara.
Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur, dan
narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak
mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal
pernafasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan
narkotik.
4. Nutrisi
Nutrisi
yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk makan per oral,
dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun, dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat
oleh
dokter dan perawat.
5.
Gangguan tidur
Gangguan
tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan ini,terutama
karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang memberikan
kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis, mematikan lampu,
memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu untuk meningkatkan tidur
dan istirahat. Juga harus selalu diingat bahwa pasien yang mengalami paralise
dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat ketakutan sendiri pada malam
hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat bantuan jika ia mendapat masalah.
Harus disediakan cara atau lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia
dapat meminta bantuan. Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat
membantu mengatasi ketakutan.
6. Dukungan
emosional
Ketakutan,
keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan
keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur
tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus
diperbolehkan untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan
pemulihan. Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena
mereka membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat menggunakan bel pemanggil
secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat harus mempertimbangkan untuk
membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu lebih banyak bersama pasien.
Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan pasien dan keluarga rasa
aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi dengan
konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus dilakukan secara.
TERAPI
FARMAKOLOGI
Sindroma Guillain-Barre
dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif
care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang
dalam waktu yang lama.
Pada
sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan
terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan
penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai
nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis
atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang
beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan
imunosupresan:
§ Imunoglobulin
IV
Pengobatan
dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
tiap 15 hari sampai sembuh.
·
Obat
sitotoksik
Pemberian
obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
Ø merkaptopurin
(6-MP)
Ø Azathioprine
Ø Cyclophosphamid
Efek
samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SINDROM GUILLAIN BARE
A.
PENGKAJIAN
Pengkajian
keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Pengkajian
terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus terhadap ancaman
gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain mencakup
disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien
terhadap tanda trombosis vena profunda dan emboli paru-paru, yang sering
mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a. Anamnesis
Ø Identitas
klien,
antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama, pendidikan,
dsb
Ø Keluhan
utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum
maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
Ø Riwayat
Penyakit, meliputi:

Keluhan yang paling sering
ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS
adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan
ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan
ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada
klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang
mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat
mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan
dalam tanda-tanda vital.

Pengkajian penyakit yang
pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang
sering digunakan klien, seperti pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian
jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian
antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data
dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
Ø Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien
GBS meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian
mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa
stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini
yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
b. Pemeriksaan
Fisik
Setelah
melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik
sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan
fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik
pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan
dari klien.
Pada
klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi
pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya
infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat insufisiensi
pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (hipertensi
transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
Ø B1
(Breathing)
Inspeksi didapatkan klien
batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan
paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan
karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
Ø B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem
kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi yang berhubungan dengan
penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan
ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi transien )
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
Ø B3
(Brain)
Merupakan
pengkajian focus meliputi :
v Tingkat
kesadaran
Pada
klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien mengalami
penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai dan
sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.
v Fungsi
serebri
Status mental : observasi
penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien GBS tahap lanjut disertai
penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalam perubahan.
v Pemeriksaan
saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada
klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman Saraf II. Tes ketajaman
penglihatan pada kondisi normal. Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan
membuka dan menutup kelopak mata, paralis ocular. Saraf V. Pada klien GBS
didapatkan paralis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah. Saraf
VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan
tuli persepsi. Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral. Saraf XI. Tidak ada atrof otot
sternokleinomastoideus dan trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik. Saraf
XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecapan normal.
v System
motori
Kekuatan otot menurun,
control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami
perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga menggaganggu
moblitas fisik
v Pemeriksaan
reflex
Pemeriksaan reflex dalam,
pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum derajat reflexs dalam respons
normal.
v Gerakan
involunter
Tidak ditemukan adanya
tremor, kejang, Tic,dan distonia.
v System
sensori
Parestesia ( kesemutan
kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstrimtas atas,
batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
Ø B4
(Bladder)
Terdapat penurunan volume
haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
Ø B5
(Bowel)
Mual
sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot
pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang
terpenuhi.
Ø B6
(Bone)
Penurunan
kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan mobilitas pasien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak dibantu
orang lain.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul yakni :
Ø Pola
napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Ø Resiko
tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, dan konduksi listrik jantung.
Ø Resiko
gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.
Ø Gangguan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
Ø Cemas
yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang
buruk.
C.
INTERVENSI
KEPERAWATAN
Pola napas tidak efektif yang
berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman
gagal pernapasan
|
|
Tujuan :
dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali efektif.
Criteria
hasil
: secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak menggunakan otot
bantu pernapasan, gerakan dada normal
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas
tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot bantu
pernapasan
|
Menjadi parameter monitoring serangan
gagal napas dan menjadi data dasar intervensi selanjutnya
|
Evaluasi keluhan sesak napas bak
secara verbal maupun nonverbal
|
Tanda dan gejala meliputi adanya
kesukaran bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan ireguler,takikardia
dan perubahan pola napas.
|
Beri ventilasi mekanik
|
Ventilasi mekanik digunakan jika
pengkajian sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan perkembangan kearah
kemunduran, yang mengndikasikan kearah memburuknya kekuatan otot pernapasan
|
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital
pernapasan
|
Penurunan kapasitas vital dhubungkan
dengan kelemahan otot-otot pernapasan saat menelan,sehingga hal ini
menyebabkan kesukaran saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya
fungsi pernapasan.
|
Kolaborasi :
Pemberian humidifikasi oksigen
3L/Menit
|
Membantu pemenuhan oksigen yang
sangat dperlukan tubuh dengan kondisi laju metabolism sedang meningkat
|
Resiko tinggi penurunan curah jantung
yang berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik
jantung.
|
|
Tujuan :
penurunan curah jantung tidak terjadi
Criteria
hasil
: stabilitas hemodinamik baik
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Auskultasi TD, bandingkan kedua
lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan
|
Hipotensi dapat terjadi sampai dengan
disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena umum karena nyeri cemas
pengeluaran katekolamin.
|
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi
|
Penurunan curah jantung mengakibatkan
menurunnya kekuatan nadi.
|
Catat murmur
|
Menunjukkan gangguan aliran darah
dalam jantung, (kelainan katup, kerusakan septum, atau fibrasi otot papilar).
|
Pantau frekuensi jantung dan irama
|
Perubahan frekuensi dan irama jantung
menunjukkan komplikasi disritma.
|
Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan
sesuai indikasi
|
Dapat meningkatkan saturasi oksgean
dalam darah
|
Resiko gangguan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketdakmampuan mengunyah dan menelan
makanan
|
|
Tujuan :
pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Criteria
hasil
: setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan
asupan nutrisi
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan
nutrisi klien oral
|
Perhatian yang diberikan untuk
nutrisi yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan.
|
Monitor komplikasi akibat paralisis
akibat insufisisensi aktivitas parasimpatis
|
Ilius paralisis dapat disebabkan oleh
insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini, makanan melalui
intravena dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan perawat mementau
bising usus sampai terdengar
|
Berikan nutrisi via NGT
|
Indikasi jika klien tidak mampu
menelan melalui oral
|
Berikan nutrisi via oral bila paralis
menelan berkurang
|
Bila klien dapat menelan, makanan
melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati
|
Gangguan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan kekuatan otot,
penurunan kesadaran
|
|
Tujuan :
dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien meningkat
atau teradaptasi
Criteria
hasil
: peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis vena profunda dan emboli
paru merupakan ancaman klien paralisis yang tidak mampu menggerakkan
ekstremitas, dekubitus tidak terjadi
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji tingkat kemampuan klien dalam
melakukan mobilitas fisik
|
Merupakan data dasar untuk melakukan
intervensi selanjutnya
|
Dekatkan alat dan sarana yang
dibutuhkan klien dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari
|
Bila pemulihan mulai untuk dlakukan,
klien dapat hipotensi ortostatik ( dari disfungsi otonom )
dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk menolong mereka mengambil
posisi duduk tegak
|
Hindari factor-faktor yang
memungkinkan terjadinya trauma pada saat klien melakukan mobilisasi
|
Individu paralisis mempunyai
kemungkinan mengalalmi kompresi neuropati, paling sering saraf ulnar dan
peritonial
|
Sokong ekstremitas yang mengalami
paralisis
|
Ekstremitas paralisis disokong dengan
posisi fungsional dan memberikan latihan rentang gerak secara
pasif paling sedikit dua kali sehari
|
Monitor komplikasi gangguan mobilitas
fisik
|
Deteksi awal thrombosis vena profunda
dan dekubitus sehingga dengan penemuan yang cepat penanganan lebih mudah
dilaksanakan.
|
Kolaborasi dengan tim fisisoterapis
|
Mencegah deformities kontraktur
dengan menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dean lathan rentang gerak
|
Cemas yang berhubungan dengan kondisi
sakit dan prognosis penyakit yang buruk
|
|
Tujuan :
dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau
berkurang
Criteria
hasil
: mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang
mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
|
|
Intervensi
|
Rasonal
|
Bantu klien mengekspresikan perasaan
marah, kehilangan, dan takut
|
Cemas berkelanjutan dapat memberikan
dampak serangan jantung selanjutnya
|
Kaji tanda verbal dan non verbal
kecemasan, dampingi klien, dan lakukan tundakan bila menunjukkan perilaku
merusak
|
Reaksi verbal atau nonverbal dapat
menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah
|
Hindari konfrantasi
|
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,
menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan
|
Mulai melakukan tindakkan untuk
mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat
|
Mengurangi rangsangan eksternal yang
tidak perlu
|
Orientasikan klien terhadap prosedur
rutin dan aktivitas yang diharapkan
|
Orientasi dapat menurunkan kecemasan
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar